![]() |
Ketua Praja Blora, Agung Heri Susanto |
BLORA, POJOKBLORA.ID - Ketua Praja Blora, Agung Heri Susanto, menyoroti pentingnya percepatan legalisasi Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) di Blora. Hal ini ia soroti dari hasil sosialisasi Program Peningkatan Peran Bumdes Pengembangan Produk Unggulan Desa.
Agung menjelaskan bahwa saat ini pemerintah pusat melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Koperasi Merah Putih sedang gencar mendorong pembentukan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih di seluruh Indonesia.
"Instruksi ini jelas: pemerintah desa dan kelurahan harus segera merealisasikan Koperasi Merah Putih. Di Kabupaten Blora, kita juga diperkuat dengan upaya Kementerian Desa melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Ekonomi dan Investasi Desa untuk mendukung penguatan Bumdes," ujarnya, Rabu (28/5).
Agung menegaskan, landasan hukum operasional Bumdes sudah jelas tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa. Namun, ia mencatat adanya perbedaan signifikan terkait pengelolaan dana desa berdasarkan aturan terbaru.
"Kalau mengacu pada Permendes Nomor 2 Tahun 2024, minimal 20% dana desa digunakan untuk ketahanan pangan, tapi tidak diwajibkan sebagai penyertaan modal Bumdes. Namun, dengan adanya Permendes Nomor 3 Tahun 2025, minimal 20% dana desa justru harus masuk ke penyertaan modal Bumdes untuk kegiatan ketahanan pangan," jelasnya.
Menurut Agung, perbedaan kebijakan ini menjadi tantangan besar, terutama di Blora. Sebab, hingga kini, belum semua Bumdes di 271 desa memiliki badan hukum resmi. Proses pendaftaran, katanya, sempat terhambat karena sistem aplikasi yang digunakan terintegrasi dengan Kementerian Hukum dan HAM melalui Kementerian Desa, sehingga perlu percepatan agar seluruh Bumdes di Blora segera mendapatkan legalitas formal.
"Ini PR besar kita bersama. Desa-desa sudah daftar, tapi terkendala di sistem. Kalau tidak ada badan hukum, bagaimana mereka bisa bergerak?" tegasnya.
Selain persoalan legalitas, Agung juga menyoroti kesiapan Bumdes dalam mengelola dana untuk usaha di bidang pertanian, yang menjadi bagian dari program ketahanan pangan. Pemerintah telah mengalokasikan dana sekitar Rp200 juta untuk setiap Bumdes yang mengelola sektor ini.
"Usaha di bidang pertanian dan peternakan itu tidak mudah, butuh perencanaan matang, keahlian, dan analisis risiko. Kalau Bumdes tidak siap, bukan tidak mungkin program ini hanya jadi seremonial tanpa dampak nyata," ungkapnya.
Agung juga mengingatkan, program ketahanan pangan bukan sekadar kegiatan jangka pendek, tapi harus menjadi usaha berkelanjutan. Ia mencontohkan perbedaan antara pemberdayaan masyarakat—seperti pengadaan racun tikus atau pembangunan jalan usaha tani—dengan usaha bisnis pertanian yang berkelanjutan di bawah naungan Bumdes.
"Kita harus berhati-hati. Kalau hanya sekali kegiatan, selesai begitu saja, beda dengan usaha pertanian yang harus berjalan terus-menerus. Jangan sampai ketahanan pangan yang kita cita-citakan justru tidak tercapai karena pengelolaan yang kurang tepat," pungkasnya.(AGUNG)